Sabtu, 30 Januari 2010

Kaedah Penulisan dalam Media Masa

Proses komunikasi secara tertulis sangat bergantung pada bahasa yang digunakan, mencakup unsur-unsur bentuk, makna, fungsi, dan nilai, di mana antara satu unsur dan unsur yang lainnya saling berhubungan dalam satu jenis wacana tertentu. Artinya, penggunaan bahasa dengan bentuk, makna, fungsi, dan nilai tertentu menjadi karakteristik yang membedakan satu wacana komunikasi dengan wacana lain. Misalnya, wacana sastra tulis akan berbeda dengan wacana berita surat kabar berdasarkan penggunaan bahasanya, mencakup keempat unsur tersebut.

Media massa cetak, khususnya surat kabar, adalah salah satu media pengguna bahasa Indonesia ragam tulis yang berkembang sangat pesat dewasa ini. Wacana berita pada media massa cetak surat kabar adalah satu jenis wacana penggunaan bahasa tulis yang menggunakan tipe bahasa standar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Oktavianus (2006), sebagai berikut: Sebagian berita yang disampaikan melalui surat kabar, surat, buku-buku teks dapat dikategorikan sebagai wacana tulis. Memahami wacana tulis agak mudah, namun ada hal-hal khusus yang tidak dapat diamati melalui wacana tulis. Hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan unsur suprasegmental tidak dapat diamati karena tidak ada petunjuk ke arah itu. Berbeda dari wacana lisan, wacana tulis pada umumnya telah diedit terlebih dahulu sehingga tipe bahasa yang digunakan adalah bahasa standar (Oktavianus, 2006:45).

1. Kaedah Pembakuan
Arwan Tuti Artha, seorang pemakalah pada Kongres Bahasa Indonesia VIII bulan Oktober 2003 di Jakarta, dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Bahasa Lokal pada Pers Berbahasa Indonesia, mengemukakan bahwa bahasa terutama dalam pers cetak sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, pers cetak harus bisa menjadi referensi penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Artinya, pers cetak tidak bisa membebaskan diri dari aturan kebahasaan dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia (Arwan, 2003:1).
Penggunaan bahasa dalam media massa cetak, khususnya dalam wacana berita, diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat pembaca dengan baik sehingga pembaca dapat menangkap setiap esensi pikiran yang disampaikan berita tersebut dengan benar. Artinya, penggunaan bahasa dalam wacana berita surat kabar mengacu pada bentuk standar atau bentuk baku, mencakup semua aspek kebahasaan berupa struktur internal (fonologi, morfologi, sintaksis dan gramatika), aspek semantik, aspek leksikon, serta didukung dengan penggunaan ejaan dan tanda baca yang tepat. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang tidak standar dan tanda baca yang tidak tepat dalam wacana berita surat kabar dikhawatirkan dapat mengacaukan pemahaman terhadap pikiran yang dikomunikasikan karena dalam proses hal ini, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak sedang bersemuka.
Dalam perkembangan ketatabahasaan bahasa Indonesia, pembakuan kaidah memang masih terbatas pada kaidah bahasa ragam tulis, sedangkan kaidah bahasa ragam lisan masih sebatas wacana “asal tidak menunjukkan kekhasan logat bahasa daerah tertentu”. Pembakuan bahasa ragam lisan belum bisa dilakukan disebabkan latar belakang etnis masyarakat bahasa Indonesia yang sangat beragam dengan logat dan dialek yang juga sangat beragam. Situasi ini menyulitkan pembakuan ragam lisan terkait standardisasi lafal dan penetapan transkripsi fonetis baku. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Halim (dalam Alwi dkk., 2000):
Kajian tentang pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia hampir-hampir tak tersentuh. Seratus persen perhatian tertuju pada pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis. Masalah yang belum banyak dibicarakan adalah mencakup soal suprasegmental yang mencakup tekanan dan lagu atau intonasi. Boleh dikatakan penelitian mengenai ciri‑ciri prosodi atau ciri suprasegmental ragam lisan bahasa Indonesia masilt merupakan lapangan yang belum tersentuh.
Sementara itu, pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis sudah dimulai secara resmi sejak penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) edisi pertama untuk menyongsong Kongres Bahasa Indonesia V yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 1988. Pembakuan tata bahasa ini seiring dengan penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama yang memuat kosa kata baku. Dalam makalah berjudul Perkembangan Bahasa Indonesia dari Aspek Teori Linguistik, yang dibacakan pada Kongres Bahasa VIII di Jakarta pada 14—17 Oktober 2003, ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda, Heins Steinhauer, menyimpulkan bahwa dalam menghadapi kenyataan banyaknya varietas bahasa Indonesia yang menjadikannya sebagai kontinum yang tidak jelas batasnya, kita (peserta kongres yang mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia) harus berpegang pada penafsiran bahwa bahasa Indonesia (standar) merupakan bahasa yang didefinisikan tata bahasanya dalam TBBBI dan kosakatanya dalam KBBI (Steinhauer, 2003:2). Pernyataan ini menggiring kita pada konsekuensi harus mengacu kepada TBBBI dan KBBI bila kita ingin menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis yang baku.

2.Tata Bahasa: Kesalahan Penulisan
Salah satu kesalahan penulisan yang banyak terjadi yaitu penulisan kata penghubung “dan”, yakni menulis kata “dan” di awal kalimat. Penulisan demikian jelas salah atau menyalahi kaidah tata bahasa. Pasalnya, kata penghubung harus digunakan untuk menghubungkan dua hal atau kalimat, bukan untuk mengawali sebuah kalimat.
Kesalahan penulisan itu terjadi, utamanya di kalangan wartawan/media, kemungkinan karena salah satu dari dua hal ini: kemalasan atau kebodohan. Sang wartawan malas mengecek ejaan atau penulisan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah ahasa; atau memang ia (maaf) bodoh, tidak well educated, sehingga menulis semaunya. Kalau karena malas, tidak bisa dimaafkan. Jika karena bodoh, dapat dimaafkan, karena bisa diatasi dengan belajar atau diajari.
Sama halnya dengan wartawan/media yang masih saja menggunakan “kata-kata mubazir” dan “kata-kata jenuh” dalam penulisan berita, seperti penggunaan kata “sementara itu”, “dalam rangka”, “perlu diketahui”, “seperti kita ketahui”, “dapat ditambahkan”, “selanjutnya”, dan sebagainya. Hal itu karena dua hal tadi, malas atau bodoh.
Bukan hanya itu, kesalahan penulisan “dan” juga sering terjadi dalam cara penulisan “dan” ketika menghubungkan lebih dari dua hal/benda, misalnya: “di kamar itu ada kursi, meja dan tempat tidur” (tanpa koma). Mestinya, menurut Ejaan Yang Disempuranakan (EYD), harus menggunakan koma sebelum kata “dan”: “di kamar itu ada kursi, meja, dan tempat tidur”.
Ada juga kesalahan penulisan “sehingga” di awal kalimat.
Contoh:
• “…melakukan aksi perlawanan. Sehingga, polisi menggunakan….
• ”. Mestinya, “…melakukan perlawanan sehingga polisi menggunakan…”;
• “…melakukan perlawanan. Akibatnya, polisi menggunakan….”.
Pedoman penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar membahas juga soal kata-kata penghubung lain yang harus dihindari. Untuk menghubungkan dua klausa tidak sederajat, bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk “di mana” (padanan dalam bahasa Inggris adalah “who”, “whom”, “which”, atau “where”) atau variasinya (”dalam mana”, dengan mana”, “hal mana”, “dalam pada itu”, “yang mana” dan sebagainya).
Wartawan kita juga sering membuat judul dengan awal angka/bilangan. Misalnya, “12 Orang Tewas Tertimbun Longsor”. Mestinya, “Dua Belas Orang Tewas…” atau “Belasan Orang Tewas Tertimbun Longsor”. Lambang bilangan pada awal kalimat harus ditulis degan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat lagi pada awal kalimat. Misalnya, “Longsor Tewaskan 12 Orang”.

3.Media: Guru Bahasa
Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih belum “membudaya” di kalangan media/wartawan. Buktinya masih banyak kesalahan penulisan di media cetak. Padahal, disadari atau tidak, media atau wartawan adalah “guru bahasa” bagi publik, bahkan lebih berpengaruh ketimbang guru bahsa di sekolah-sekolah atau kampus-kampus.
Bahasa di media menjadi rujukan (referensi) sekaligus “panutan” bagi masyarakat pembaca. Kata, istilah, dan kalimat dan tata cara penulisannya di media akan menjadi perhatian, bahkan menjadi trend-setter dalam hal penggunaan bahasa Indonesia. Penulisan kata, kalimat, ungkapan, atau istilah yang muncul di media akan dianggap benar oleh publik.
Contoh paling menonjol dalam hal akronim. Masyarakat tidak menemukan, misalnya, istilah “minah” dalam kamus bahasa Indonesia. Mereka menemukannya dalam pemberitaan media. “Minah” adalah singkatan dari “minyak tanah” demi efisiensi atau penghematan kata (economy of word). Demikan halnya “tilang” (bukti pelanggaran), “curas” (pencurian disertai kekerasan), “curanmor” (pencurin kendaraan bermotor), dan banyak lagi.
Salah satu fungsi media (pers) adalah mendidik masyarakat (to educate) masyarakat agar melakukan sesuatu, bertindak benar, mematuhi aturan, bersikap baik, dan sebagainya. “Pers adalah guru bagi masyarakat,” kata Wilbur Schramm (1973), selain sebagai pengamat (watcher) dan forum dikusi (forum). Karenanya, insan pers harus benar-benar menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pakar media dari Lembaga Pers Dr. Soetomo, Maskun Iskandar, menegaskan, bahasa jurnalistik, yakni bahasa pers, bahasa koran, atau bahasa media massa, hanyalah salah satu variasi bahasa. Demikian pula bahasa jurnalistik, katanya, adalah salah satu variasi bahasa yang tetap berinduk pada bahasa Indonesia. ”Tetap terikat pada sifat, adat, dan kaidah bahasa baku, baik tata bahasanya, istilah, maupun ejaan bahasa Indonesia,” katanya (kapanlagi.com). “Setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa pers membentuk variasi tersendiri, yaitu karena fungsi media massa, karakteristik cara kerja pers, dan keadaan media,” katanya.
“Lewat pers kita mengenal anjuran untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar, namun pers sendiri tidak memedulikan bahasa yang baik dan benar,” kata Maskun. Pers sering menyimpang dari kaidah bahasa yang sudah ditetapkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Media massa juga sering mengekor memakai istilah yang salah kaprah.”
Para pakar dan pemerhati bahasa Indonesia merasa prihatin tentang pemakaian bahasa di media massa, seperti dikemukakan Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono. Ia menyatakan, pemakaian bahasa Indonesia di media massa “memprihatinkan”. Salah satu contoh yang sering dikemukakan adalah penggunaan bahasa ”gado-gado”, yaitu pencampuradukan bahasa Indoensia dengan bahasa asing, terutama Inggris.
“Bahasa di media massa selalu menjadi bahan pergunjingan orang, hal itu mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang membaca atau mendengarnya. Boleh jadi karena mereka menggaggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita dalam berbahasa,” katanya.

4. Kaedah Pembakuan
Arwan Tuti Artha, seorang pemakalah pada Kongres Bahasa Indonesia VIII bulan Oktober 2003 di Jakarta, dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Bahasa Lokal pada Pers Berbahasa Indonesia, mengemukakan bahwa bahasa terutama dalam pers cetak sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, pers cetak harus bisa menjadi referensi penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Artinya, pers cetak tidak bisa membebaskan diri dari aturan kebahasaan dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia (Arwan, 2003:1).
Penggunaan bahasa dalam media massa cetak, khususnya dalam wacana berita, diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat pembaca dengan baik sehingga pembaca dapat menangkap setiap esensi pikiran yang disampaikan berita tersebut dengan benar. Artinya, penggunaan bahasa dalam wacana berita surat kabar mengacu pada bentuk standar atau bentuk baku, mencakup semua aspek kebahasaan berupa struktur internal (fonologi, morfologi, sintaksis dan gramatika), aspek semantik, aspek leksikon, serta didukung dengan penggunaan ejaan dan tanda baca yang tepat. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang tidak standar dan tanda baca yang tidak tepat dalam wacana berita surat kabar dikhawatirkan dapat mengacaukan pemahaman terhadap pikiran yang dikomunikasikan karena dalam proses hal ini, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak sedang bersemuka.
Dalam perkembangan ketatabahasaan bahasa Indonesia, pembakuan kaidah memang masih terbatas pada kaidah bahasa ragam tulis, sedangkan kaidah bahasa ragam lisan masih sebatas wacana “asal tidak menunjukkan kekhasan logat bahasa daerah tertentu”. Pembakuan bahasa ragam lisan belum bisa dilakukan disebabkan latar belakang etnis masyarakat bahasa Indonesia yang sangat beragam dengan logat dan dialek yang juga sangat beragam. Situasi ini menyulitkan pembakuan ragam lisan terkait standardisasi lafal dan penetapan transkripsi fonetis baku. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Halim (dalam Alwi dkk., 2000):
Kajian tentang pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia hampir-hampir tak tersentuh. Seratus persen perhatian tertuju pada pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis. Masalah yang belum banyak dibicarakan adalah mencakup soal suprasegmental yang mencakup tekanan dan lagu atau intonasi. Boleh dikatakan penelitian mengenai ciri‑ciri prosodi atau ciri suprasegmental ragam lisan bahasa Indonesia masilt merupakan lapangan yang belum tersentuh.
Sementara itu, pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis sudah dimulai secara resmi sejak penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) edisi pertama untuk menyongsong Kongres Bahasa Indonesia V yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 1988. Pembakuan tata bahasa ini seiring dengan penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama yang memuat kosa kata baku. Dalam makalah berjudul Perkembangan Bahasa Indonesia dari Aspek Teori Linguistik, yang dibacakan pada Kongres Bahasa VIII di Jakarta pada 14—17 Oktober 2003, ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda, Heins Steinhauer, menyimpulkan bahwa dalam menghadapi kenyataan banyaknya varietas bahasa Indonesia yang menjadikannya sebagai kontinum yang tidak jelas batasnya, kita (peserta kongres yang mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia) harus berpegang pada penafsiran bahwa bahasa Indonesia (standar) merupakan bahasa yang didefinisikan tata bahasanya dalam TBBBI dan kosakatanya dalam KBBI (Steinhauer, 2003:2). Pernyataan ini menggiring kita pada konsekuensi harus mengacu kepada TBBBI dan KBBI bila kita ingin menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis yang baku.

5. Kadang Penulisan dalam Media Massa tidak Harus Sepenuhnya Sesuai dengan Kaidah karena Beberapa Hal
Mengambil salah satu kutipan dalam buku Digital Fortres, seringkali masyarakat butuh kebenaran yang tidak seterusnya di bungkus dalam sebuah 'kebakuan'. Maksudnya, bahasa ntidak baku terkadang dibutuhkan media massa untuk menarik minat pembacanya, karena segmentasi juga sudah dipikirkan oleh yang memiliki kebijakan di media. Contohnya, segmen Koran Tempo tentu berbeda dengan segmen Majalah Bobo, yang pembacanya memang anak-anak yang masih memerlukan bimbingan.
Media massa punya ragam bahasa Jurnalistik . Akan tetapi, yang perlu kita Ingat sekarang adalah pesan Rosihan Anwar bahwa menarik minat pembaca jangan sampai mengorbankan kebenaran berbahasa. Media massa cetak harus memberikan pembelajaran bahasa kepada pembacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar