Kamis, 24 Desember 2009

”Membangun Habitus Baru Khususnya dalam Bidang Sosio-Ekonomi”

”Membangun Habitus Baru
Khususnya dalam Bidang Sosio-Ekonomi”

Saat ini muncul banyak permasalahan yang makin rumit seperti tekanan ekonomi, kekerasan dan pelanggaran hukum sampai perusakan lingkungan semakin meningkat. Oleh karena itu kita sebagai umat Katolik merasa peranan gereja sangat diharapkan membantu menyelesaikan permasalahan yang semakin komplek itu. Kita harus berperanserta dalam memperjuangkan kehidupan dan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang lebih manusiawi.
Tata kehidupan yang lebih manusiawi akan terwujud kalau ada konsep hidup yang jelas dan peningkatan kualitas manusia. Oleh karena itu, tekad untuk mengimplementasikan habitus baru, yang merujuk pada keputusan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 sangat diperlukan.

Habitus baru yang digambarkan oleh SAGKI 2005 adalah sebuah gugusan “insting” berdasarkan kebaikan, cinta, dan keadilan yang digunakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam membentuk berbagai cara untuk bertindak, melakukan pendekatan, melihat, merasakan, berpikir, memahami, dan berelasi dengan sesama.

Definisi Habitus Baru
Habitus dalam arti tertentu memang bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘kebiasaan’, setelah habitus diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi habit. Hanya saja, dalam konteks Nota Pastoral Sidang KWI, November 2004, (“Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya”), habitus dimaknai sebagai “gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok” (NP butir 10).
Selanjutnya, dalam catatan kaki no.1 Nota Pastoral itu, dengan mengacu pada pendekatan psikologi menurut Dr. Hubertus Kasan Hidayat, DSJ dalam bukunya Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa Dewasa, Catatan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa (Jakarta 1996, hal.1) diterangkan lebih lanjut bahwa “Kadang-kadang kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi watak. Sementara itu kata watak juga menterjemahkan kata karakter yang berarti keseluruhan keadaan dan cara bertindak terhadap suatu rangsangan. Watak terus berkembang dalam masa kehidupan seseorang. Watak berkaitan erat dengan fungsi saraf pusat. Watak juga dipengaruhi oleh faktor eksogen, seperti lingkungan, pengalaman dan pendidikan”.
Baik dipahami juga bahwa yang dimaksud ‘insting’ bukanlah insting dalam arti naluri yang sudah tertanam dalam diri manusia dan tak bisa diubah. Insting yang dimaksud disini adalah kemampuan bereaksi yang kurang-lebih spontan dari manusia, terhadap suatu masalah, yang akan menjelma dalam seluruh sikap dan tindakannya. Sikap dan tindakan (yang diharapkan menjadi ‘kebiasaan’) ini dikatakan sebagai “cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok”. Karena bukan sesuatu yang tetap, gugus insting ini bisa diubah dan dibentuk melalui suatu proses yang relatif panjang.
Kata ‘gugus’ menunjukkan adanya kesatuan dari beberapa elemen pembentuknya, yang diandaikan saling terkait dengan erat dan saling dukung, serta ada konsistensi di dalamnya. Elemen-elemen itu antara lain “sikap dasar terhadap Tuhan, terhadap diri, terhadap manusia, terhadap masyarakat, terhadap pemerintah, terhadap dunia bisnis, terhadap perempuan, terhadap alam/lingkungan hidup, dan sebagainya. Masing-masing elemen sikap itu ada dalam diri manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, dan akan menjadi habitus bila saling terkait dan tidak saling kontradiktif atau saling meniadakan, lalu mendasari cara bereaksi terhadap masalah yang dihadapi, baik secara emotif (rasa perasaan) maupun secara kognitif (pemahaman) dan motoris (tindakan).
Habitus ini punya kaitan timbal-balik dengan keadaban publik. Pertama-tama, perhatian terhadap keadaban publik menjadi salah satu elemen dasar habitus yang mau dibentuk. Maka, kalau dikatakan bahwa “keadaban publik harus menjadi habitus baru bangsa ini”, hal itu berarti bahwa keadaban publik, yang selama ini ditengarai kurang menjadi perhatian bersama, secara sadar perlu dimasukkan dalam habitus baru. Dengan kata lain, dalam habitus lama keadaban publik dilupakan (misalnya karena masing-masing poros hanya memperhatikan dirinya sendiri), maka dalam habitus baru keadaban publik dijadikan inti dan sekaligus cakrawala habitus baru. Di situ pun menjadi jelas bahwa upaya untuk mewujudkan keadaban publik baru itu pun pada gilirannya akan makin membentuk habitus itu.
Keadaban publik sering diartikan sebagai keseimbangan relasi antara ketiga poros dalam kehidupan masyarakat: poros masyarakat warga, poros pasar dan poros badan publik. Ketiga poros ini masing-masing mempunyai cara pikirnya, juga kepentingannya sendiri, tetapi tidak berarti tidak bisa dipertemukan. Dari sini cukup jelas bahwa yang perlu dimasukkan sebagai elemen dasar habitus baru adalah kepentingan bersama atau kebersamaan hidup sebagai masyarakat itu, bukan sekedar kepentingan sesama yang bersifat individual.
Kata habitus ini mempunyai unsur paradigma. Artinya, pengertian tentang makna paradigma tercakup juga dalam kata habitus. Bedanya, jika paradigma lebih bermakna kognitif, habitus lebih dalam dari sekedar pemahaman. Habitus mencakup kedalaman sikap hidup. Dalam hal inilah, ajaran iman kristiani bisa membentuk habitus yang baru dalam masyarakat, dimulai dari para penganutnya. Ajaran kristiani menyediakan beberapa ‘nilai’ yang bisa dijadikan elemen habitus baru itu.
Sebagai contoh, sumber nilai kristiani yang bisa dijadikan elemen habitus baru adalah Sabda Bahagia dan Khotbah di Bukit (Mat.5-7). Dikatakan disitu, dimana ada nafsu untuk memiliki dan ketakutan untuk memberi serta berkorban, Yesus menyerukan semangat kemiskinan di hadapan Allah. Dimana ada kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dan kekuatan apabila hak-hak dilanggar. Yesus menawarkan kelembutan dalam perjuangan dan pengharapan pada Allah yang memperhatikan jeritan penderitaan orang-orang lemah. Dimana ada ketakutan menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang, Yesus menjamin kebahagiaan bagi orang-orang yang tidak takut dicela dan dianiaya dalam memperjuangkan kebenaran. (bdk. Mat 5:3-5, 10-12). Dimana agama dilaksanakan secara lahiriah dan setengah-setengah, Yesus menantang kita untuk mengembangkan komitmen iman yang radikal (bdk. Mat 5:17-48).
Ada banyak contoh lain. Misalnya, ketika masyarakat lebih berpihak pada yang kuat dan yang menang, ajaran kristiani menganjurkan untuk mulai dari yang kecil-lemah dan tersingkir. Ketika masyarakat banyak mengiring warganya menyembah uang, ajaran kristiani mewartakan Allah yang solider dan Maharahim, yang tidak memakai uang sebagai alat ukur dan mengingatkan adanya dimensi sosial pada harta/uang. Pun, ketika masyarakat membiarkan prinsip tujuan menghalalkan cara supaya tujuan dicapai dengan gampang dan cepat, ajaran kristiani mendorong untuk mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, dalam budaya damai, dialog, kerjasama, musyawarah dan saling hormat, yang notabene memerlukan proses yang panjang tidak gampang.
Nilai-nilai kristiani kiranya perlu ‘di-dialog-kan’ dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dengan ketiga porosnya. Perlu diingat bahwa pada dasarnya setiap poros mempunyai cara berpikirnya (dan juga kepentingannya) sendiri, yang belum tentu sesuai dengan nilai kristiani meski mungkin tidak berarti bertentangan sama sekali. Dialog nilai inilah yang diharapkan menjadi nilai yang mendasari keadaban publik baru dan pada gilirannya diupayakan menjadi habitus yang baru.
Dari situ tampak jelas bahwa yang tidak kalah penting dicatat adalah pentingnya syarat pertobatan: dari habitus lama untuk membentuk habitus baru. Bertobat berarti mengubah sikap dan hati, menentukan arah dasar hidup serta menata ujung mentalitas. Proses pertobatan membawa orang dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Dengan pengertian seperti ini Gereja dapat membawa reformasi rohani yang amat diperlukan untuk berhasilnya reformasi nilai dan selanjutnya reformasi politik. Dalam situasi ideal, Gereja dapat memelopori reformasi rohani sedangkan budaya mendorong reformasi nilai. Sementara itu warga negara membangun reformasi politik.
Itu memang bukan perkara gampang, tetapi hal tersebut telah menjadi perintah Tuhan agar kita membangun kerajaanNya di dunia, yaitu “kerajaan yang berpedoman kebenaran dan kehidupan, kerajaan yang memancarkan kesucian dan rahmat, kerajaan yang berlimpahan keadilan, cinta kasih dan damai” (Prefasi Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Patoral Tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini, no.39). Tantangan memang besar, dan bisa membuat gamang, tetapi kita melandaskan harapan dan perjuangan kita pada keyakinan iman yang teguh bahwa “Ia yang memulai perkerjaan yang baik di antara kita, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp.1:6).

Habitus Baru: Ekonomi Yang Berkeadilan
Salah satu masalah yang paling kompleks di negara kita Indonesia adalah masalah sosio-ekonomi. Iman telah mendorong kita, sebagai umat gereja , untuk ikut aktif mengupayakan tata ekonomi yang adil dan yang sangat menentukan terwujudnya masyarakat yang manusiawi dan bermartabat. Oleh karena itu kita membutuhkan suatu habitus baru agar kita bisa bangkit dari keterpurukan. Kita diharapkan dapat bekerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik melangkah bersama menjadi pelopor dan penggerak berbagai usaha ekonomi berkeadilan yang menyejahterakan lingkungan sekitar kita.

Istilah 'ekonomi', yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada hakikatnya berarti 'tata pengelolaan rumahtangga'. Tata-kelola itu diperlukan agar kesejahteraan setiap rumahtangga tercapai. Sebagai tata-kelola, istilah 'ekonomi' menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumberdaya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, istilah 'ekonomi' menyangkut seni-memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di lain pihak. Tujuan 'ekonomi' adalah kesejahteraan bersama. Dalam perkembangannya, tatkala lingkup 'rumahtangga' diperluas menjadi 'negara-bangsa', ekonomi kemudian juga berarti seni-mengelola sumberdaya yang dimiliki negara-bangsa untuk tujuan kesejahteraan bersama.

Indonesia adalah "rumahtangga" kita. Kita sebagai bangsa menghuni wilayah yang sangat luas, dengan keadaan geografis yang strategis dan kekayaan alam yang berlimpah-ruah. Tetapi sangat ironis, negeri kita yang kaya-raya akan sumberdaya alam ini masih memiliki banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Ironi itu tidak hanya menunjukkan bahwa kesejahteraan bersama masih jauh dari kenyataan, tetapi juga bahwa 'ekonomi' sebagai seni-mengelola kesejahteraan bersama masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masalah ini menjadi tantangan besar bagi kita.
Nota Pastoral 2006 mengajak seluruh umat untuk mencermati gejala kesenjangan itu dalam rangka mencari jalan bagaimana kegiatan ekonomi dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang ditempuh dalam perumusan dua Nota Pastoral sebelumnya, dan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005, langkah-langkah yang melahirkan Nota Pastoral ini berlangsung melalui pola refleksi Lingkaran Pastoral.
Pertama, melihat kondisi Indonesia. Dari kondisi Indonesia itu dirumuskan secara khusus 'Masalah Sosio-Ekonomi'. Kedua, 'Masalah Sosio-Ekonomi' itu kemudian dipahami serta diartikan dalam terang iman, dan dari situ kami menentukan 'Tanggapan Pastoral'. Ketiga, 'Tanggapan Pastoral' tersebut dicermati kembali guna menentukan arah 'Gerakan Sosio-Ekonomi'. Keempat, berdasarkan arah 'Gerakan Sosio-Ekonomi' itu lalu ditentukan rancangan gerakan yang hendak diupayakan untuk memperbaiki keadaan hidup bersama di Indonesia melalui usaha sosio-ekonomi.

Beberapa Sebab Pokok Masalah
Potret buram kondisi sosial-ekonomi yang ditandai oleh kesenjangan sangat tajam di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Dalam keterkaitan satu sama lain, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.Komersialisasi yang semakin meluas. Untuk mendapatkan barang dan jasa kebutuhan hidup, manusia menciptakan cara efektif pertukaran atau perdagangan, yang kemudian memunculkan 'mekanisme pasar'. Mekanisme pasar diterapkan dalam pengadaan berbagai barang dan jasa, tetapi tidak semua. Banyak kebutuhan dasar yang menyangkut kelangsungan hidup bersama, seperti kesehatan dan pendidikan, tetap dijaga sebagai milik bersama. Yang menggelisahkan adalah bahwa dewasa ini tengah berlangsung kecenderungan kuat untuk menerapkan mekanisme pasar itu ke semua bidang kehidupan. Kita sadar bahwa banyak faktor pro dan contra terlibat dalam kecenderungan ini. Namun kita juga sadar, penerapan prinsip pasar ke semua bidang kehidupan cenderung menyingkirkan begitu banyak orang. Dalam mekanisme pasar, berlaku prinsip berikut ini: hak seseorang atas barang/jasa kebutuhan hidup ditentukan oleh daya-beli. Karena itu, semakin seseorang mempunyai uang, semakin ia dianggap lebih "berhak" atas barang/jasa tersebut. Sebaliknya, semakin seseorang tidak mempunyai uang, semakin ia dianggap "tidak berhak" bahkan atas kebutuhan hidup yang paling mendasar, seperti makanan dan kesehatan. Mekanisme pasar mempunyai kekuatan dalam bidangnya sendiri. Namun kekuatan mekanisme pasar itu dengan mudah justru hilang ketika diterapkan secara membabi-buta ke semua bidang kehidupan. Akibatnya, mekanisme pasar tak lagi membantu pencapaian kesejahteraan bersama, dan bahkan memperkecil kemungkinan terjadinya kesejahteraan bersama. Atau, seandainya pun terjadi, kesejahteraan hanyalah hasil "tetesan ke bawah" dari segelintir orang yang kaya dan memiliki daya-beli tinggi. Pada akhirnya 'ekonomi' tidak lagi terkait dengan cita-cita kesejahteraan bersama, dan kelompok-kelompok miskin serta lemah menjadi kaum yang paling berat menanggung dampak negatifnya.
2.Masalah Kebijakan Publik. Kita harus sadar bahwa kecenderungan merupakan gejala luas pada skala global. Dalam kecenderungan itu, dinamika tata hidup bersama semakin tidak lagi mengejar kesejahteraan bersama sebagai cita-cita utama. Adalah tugas pemerintah untuk menjaga dan memastikan bahwa kesejahteraan bersama tetap menjadi tujuan utama hidup berbangsa yang diupayakan dengan sadar dan sengaja. 'Kebijakan publik' adalah perangkat utama pemerintah untuk mengejar tujuan itu. Tanpa pemenuhan tugas itu, setiap pemerintah demokratis mengingkari hakikatnya. Terjadinya potret buram kondisi sosio-ekonomi seperti di atas bukannya tidak terkait dengan corak kebijakan publik yang menggejala di Indonesia dewasa ini, terutama karena proses komersialisasi juga telah melanda pembuatan dan pelaksanaan berbagai kebijakan publik. Akibatnya, mereka yang memiliki daya-beli tinggi dapat lebih menentukan arah kebijakan publik, sedangkan mereka yang miskin tidak mempunyai suara apapun atas arah kebijakan publik. Dengan itu kebijakan publik lalu kehilangan makna sesungguhnya. Yang menggelisahkan kita adalah semakin kuatnya kecenderungan kolusi antara mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi besar dan pembuat kebijakan publik. Kaum miskinlah yang menanggung dampaknya, dengan akibat kesejahteraan bersama semakin jauh dari kenyataan.
3.Ciri Mendua Globalisasi. Kondisi sosio-ekonomi seperti sekarang ini berlangsung dalam periode sejarah yang sering disebut 'era globalisasi'. Globalisasi memunculkan harapan baru, tetapi sekaligus melahirkan hambatan baru bagi pencapaian kesejahteraan bersama; menghadirkan banyak kemudahan, tetapi juga menimbulkan berbagai kesulitan. Terutama kami melihat bahwa akses pada kemudahan-kemudahan yang muncul dalam proses globalisasi untuk sebagian besar ditentukan oleh tingkat daya-beli. Akibatnya, dengan mudah kaum miskin menjadi kelompok yang paling rentan, sebab kaum miskin adalah mereka yang mempunyai daya-beli rendah. Selain itu, gejala seperti kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) kaum buruh yang kian luas juga sangat terkait dengan kebebasan keluar-masuk para investor yang semakin tidak terbatas. Kita perlu ramah kepada para investor. Namun kebijakan ekonomi yang terutama bertumpu pada aliran modal para investor asing mengandung risiko besar, yaitu hidup-matinya kebanyakan warga biasa semakin tergantung pada kemauan pihak lain, dan bukan pada potensi ekonomi kebanyakan warga biasa sendiri.
4.Kesenjangan Budaya. Kita mengalami kesenjangan budaya apabila menghayati suatu kebiasaan hidup dan pola berpikir serta bertindak yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kesenjangan itu tampak terutama dalam orientasi waktu dan orientasi dalam relasi dengan orang lain. Berkaitan dengan orientasi waktu, misalnya, ada kebiasaan hidup dan pola berpikir yang terarah pada kepentingan jangka pendek, dan ada yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Yang dibutuhkan untuk menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan adalah pola hidup yang terarah pada kepentingan jangka panjang dan demi kesejahteraan bersama. Sikap-sikap seperti terungkap dalam kebiasaan menghamburkan sumberdaya ekonomi untuk keperluan pesta mewah, judi, minum sampai mabuk, korupsi waktu, uang dan jabatan, serta kemalasan dalam berusaha dan lain sebagainya adalah gejala-gejala kesenjangan budaya yang sangat memprihatinkan.

Persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia mengisyaratkan bahwa meluasnya gejala kemiskinan di Negara kita ini terkait erat dengan proses yang membuat kaum miskin terjebak dalam jerat pemiskinan. Jerat pemiskinan itu dilanggengkan oleh sejenis cara berpikir dan cara memandang tertentu yang dominan dalam kegiatan ekonomi dewasa ini.

Dalam cara berpikir ini, kesejahteraan bersama semakin tidak lagi menjadi penuntun kegiatan ekonomi. Atau, kesejahteraan bersama semakin tidak lagi dilihat sebagai tujuan yang dikejar secara sadar dan disengaja, tetapi hanya dianggap sebagai hasil sampingan dari pengejaran kepentingan diri masing-masing orang. Cara berpikir seperti itu cenderung menyingkirkan kaum miskin, karena kesejahteraan mereka lalu juga diperlakukan hanya sebagai hasil sampingan dan belas-kasihan segelintir orang yang berlimpah sumberdaya. Dengan itu ekonomi juga kehilangan artinya sebagai seni mengelola kesejahteraan bersama.

Kita harus sadar bahwa kegiatan ekonomi terutama digerakkan oleh prinsip transaksi yang berlangsung dalam pertukaran atau perdagangan antara pihak-pihak yang sedang memenuhi kebutuhan diri. Dinamika ekonomi itu berjalan karena digerakkan oleh pertimbangan kepentingan diri. Setiap orang harus mencukupi kebutuhan diri. Akan tetapi, cara berpikir dan cara bertindak ekonomi yang meniadakan solidaritas dan kepedulian pada mereka yang lemah juga kehilangan artinya sebagai seni mengelola rumahtangga negara-bangsa. Cara berpikir dan cara bertindak ekonomi yang menyingkirkan pertimbangan kesejahteraan bersama seperti itu hanya menjadi alat yang dipakai oleh mereka yang kuat untuk menguasai yang lemah. Oleh karena itu, kami memandang perlunya kita kembali ke asas 'kesejahteraan bersama' (bonum publicum) sebagai penuntun utama cara berpikir dan cara bertindak ekonomi. Dalam tatanegara, pemerintah adalah badan public yang harus menjaga serta memastikan bahwa 'kesejahteraan bersama' dikejar secara sengaja melalui berbagai kebijakan publik. Namun, supaya kewajiban pemerintah itu tidak memunculkan kecenderungan otoritarianisme, secara serentak para pemilik modal, pelaku kegiatan ekonomi lain dan komunitas-komunitas warga juga harus mengejarnya.

Kesejahteraan bersama merupakan salah satu asas terpenting dalam cara berpikir dan cara bertindak Gereja. Gereja berkehendak setia dan mengusahakan pelaksanaan asas itu secara sadar dan sengaja, karena Gereja yakin bahwa kesejahteraan bersama tidak dapat diserahkan kepada proses otomatis kinerja mekanisme pasar. Proses otomatis itu tidak pernah terjadi. Dalam usaha itu, Gereja memandang bahwa kehidupan ekonomi yang tergantung pada kehendak para pengusaha berskala besar dan inisiatif pemerintah bukanlah arah yang bijaksana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Komunitas-komunitas warga, khususnya kelompok miskin, perlu bangkit untuk mengusahakan kesejahteraan mereka sendiri. Dukungan dari para pelaku usaha berskala besar dan dari pemerintah tentu diperlukan. Akan tetapi, dengan atau tanpa dukungan itu, kaum miskin dan lemah harus bangkit memberdayakan diri. Untuk itu Gereja menganggap dua arah gerakan berikut ini sebagai penuntun langkah ke depan:
1.Pertama, usaha pemberdayaan potensi dan energi kaum miskin dan lemah dengan melibatkan kaum cerdik-cendekia untuk mencari tata-kelola kehidupan ekonomi yang benar-benar mewujudkan kesejahteraan bersama.
2.Kedua, desakan kritis kepada pemerintah dan para pelaku ekonomi berskala
besar untuk terlibat lebih aktif dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, dengan perhatian khusus kepada mereka yang miskin dan lemah, tanpa membuat kaum miskin dan lemah itu justru semakin tergantung.

Perlu ditegaskan bahwa arah gerakan kita didorong oleh sikap keprihatinan serta cinta-kasih, dan bukan oleh kebencian. Kita perlu menjalin kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik dan yang menunjukkan komitmen pada kesejahteraan bersama. Sikap kritis apapun yang kita ajukan lebih merupakan undangan ke arah keterlibatan sejati dalam memajukan kesejahteraan bersama.

Sikap kritis terhadap mekanisme pasar, misalnya, bukanlah penolakan terhadap kekuatan kinerja pasar dalam kegiatan ekonomi, tetapi merupakan upaya koreksi atas kinerja mekanisme pasar yang cenderung menyingkirkan mereka yang miskin dan berdaya-beli rendah. Begitu pula sikap kritis kita terhadap kinerja usaha-usaha berskala besar merupakan undangan agar kinerja ekonomi berskala besar itu lebih terkait secara langsung dengan jerih-payah kaum miskin.

Selain sikap kritis itu, upaya aktif kita harus diarahkan terutama pada pemberdayaan potensi dan energi sosio-ekonomi kaum miskin dan lemah itu sendiri. Usaha-usaha ekonomi kecil dan mikro yang berbasis kerakyatan, seperti keuangan mikro dan usaha koperasi yang sudah mulai dikembangkan di berbagai daerah, perlu diperluas dan didukung sepenuhnya. Usaha seperti keuangan mikro dan koperasi kredit ini perlu ditempuh terutama untuk membantu kaum miskin keluar dari jerat ketergantungan pada usaha-usaha berskala besar, baik dalam hal pengadaan modal maupun pemenuhan kebutuhan barang dan jasa. Tentu saja dalam rangka gerakan ini juga dibutuhkan gerakan lain untuk mendesak agar berbagai kebijakan publik di bidang ekonomi semakin menempatkan kaum miskin dan lemah sebagai pelaku utama kehidupan ekonomi di negerinya sendiri.

Kita semua berkehendak untuk terlibat melakukan perubahan atas proses yang telah menyebabkan gejala ketimpangan ekonomi. Dalam upaya itu, asas kesejahteraan bersama perlu digunakan sebagai pendekatan. Artinya, asas 'kesejahteraan bersama' dipakai sebagai prinsip menyusun agenda, memantau pelaksanaan, dan sebagai tolok-ukur untuk menilai sejauh mana agenda disebut 'sukses' atau 'gagal'. Penggunaan secara terus-menerus asas 'kesejahteraan bersama' sebagai prinsip penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi ini diharapkan berkembang menjadi cara berpikir dan cara bertindak baru - ringkasnya, sebagai habitus baru. Kesejahteraan bersama membutuhkan habitus baru itu. Kami berharap, agar seluruh warga masyarakat pada akhirnya menyadari bahwa tata ekonomi yang baik berisi kegiatan ekonomi yang "tertanam dalam-dalam" di dalam arus kehidupan bersama dan cita-cita kesejahteraan bersama.

Melihat Realitas dalam Terang Iman

Pola berekonomi yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Kisah penciptaan menuturkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas bumi dan memberi bentuk bagi bumi yang masih kacau, kosong, dan tidak teratur. Dengan demikian, dunia bukanlah sebuah suasana ketakteraturan. Kitab Suci mengingatkan kita akan kondisi awal yang dikehendaki Pencipta, yakni menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan.

Keseimbangan ini perlu dijaga dan dirawat oleh manusia. Sebagaimana manusia pertama ditempatkan dalam taman di Eden, kita pun dianugerahi rahmat untuk hidup bersama di tanah-air kita yang kaya dan indah, agar kita "mengusahakan dan merawat taman" ini. Dengan itu kita dapat mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Kita juga diberi tanggungjawab serta kesanggupan untuk memperlakukan manusia sesuai martabatnya, dan merawat serta menjaga seluruh alam dalam keseimbangan. Berekonomi secara adil merupakan wujud partisipasi kita dalam karya penciptaan Allah dan panggilan hidup manusia untuk hidup layak "dalam kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah".

Namun, rumahtangga ciptaan itu terganggu karena manusia menyalahgunakan kebebasannya. Rumahtangga bangsa kita pun terancam hancur karena ketidak-seimbangan ekonomi, sosial dan alam. Sebagai orang beriman, kita mengatakan secara jujur bahwa semua itu terjadi karena dosa. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Dia merasa hanya dapat hidup dan maju dengan menghancurkan alam dan memangsa orang lain, secara khusus orang-orang miskin, kaum perempuan dan anak-anak. Akibatnya, yang kaya memiliki banyak jaminan untuk membentengi hidupnya, tetapi yang miskin hidup tanpa perlindungan apapun.

Solidarutas Allah Memulihkan Solidaritas Kita

Dunia yang telah diciptakan dalam keteraturan tergoncang oleh pola berekonomi yang tidak adil. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai citraAllah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Alam lingkungan yang tersedia untuk semua dirusak demi keuntungan sekelompok kecil orang, walaupun akibat kerusakan itu mesti ditanggung oleh semua orang. Ke dalam kondisi dunia yang diwarnai oleh ketimpangan ini, Putera Allah datang untuk tetap menyatakan kasih-Nya kepada manusia. Dengan menjadi manusia, Allah hendak membebaskan manusia dari keterpenjaraan egoisme-nya. Allah juga bermaksud memulihkan kepercayaan manusia kepada diri-Nya dan akan sesamanya. Dalam Roh Allah yang menaungi-Nya, Yesus berbicara tentang pembebasan bagi "orang-orang tawanan" dan "penglihatan bagi orang-orang buta". Allah datang ke dunia, menjadi daging dan "diam di antara kita", agar yang kaya dan berkuasa tidak menjadi tawanan dari sikap cinta-diri yang sempit dan buta terhadap kepentingan orang lain dan ciptaan. Pembebasan itu juga berlaku bagi yang miskin agar tidak tenggelam di dalam ketidakberdayaan dan buta terhadap peluang-peluang untuk membangun hidup.

Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. Allah turut dimuliakan, apabila kita mengembangkan kekayaan alam dan bakat kita demi kesejahteraan bersama. Namun Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara, atau malah menjadikan rumah Tuhan sebagai tempat perdagangan.[xix] Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada kebutuhan ekonomi. Manusia dipanggil untuk "menjadi kaya di hadapan Allah".

Allah datang ke dunia untuk menunjukkan keberpihakan-Nya kepada orang-orang miskin dan lemah. Ia menguatkan kembali kepercayaan diri mereka agar berjuang menata kehidupannya. "Janganlah takut, hai kawanan yang kecil, sebab Bapa-Mu telah berkenan memberikan kamu kerajaan itu". Di bawah tuntunan Roh Allah, Gereja perdana membentuk suatu komunitas iman. Iman kepada Allah menggerakkan mereka untuk saling percaya. Mereka belajar hidup dari kekuatan mereka sendiri.

Pola hidup dari kekuatan sendiri dan model hidup yang saling menyejahterakan ini ternyata menarik dan menggerakkan banyak orang lain untuk menggabungkan diri. "Tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan".



Langkah ke Depan
A. Gereja Membarui Komitmen

Gereja dipanggil mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai oleh berbagai praktik ketidakadilan, khususnya dalam bidang ekonomi. Harapan ini bukanlah harapan kosong, tetapi didasarkan pada janji Allah bahwa "Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai akhirnya pada hari Kristus Yesus".

Menyadari kembali apa yang menjadi tujuan penciptaan dan maksud inkarnasi (penjelmaan), di dalam bimbingan Roh Kudus Gereja Katolik Indonesia membarui komitmennya untuk mendorong kerjasama antara badan publik, kekuatan pasar dan komunitas-komunitas warga guna menciptakan tata-kelola ekonomi yang berkeadilan dan yang menjadikan kesejahteraan bersama sebagai tujuan utama. Sikap yang perlu ditumbuhkan adalah pertobatan, metanoia, termasuk di dalam tubuh Gereja sendiri.

Gereja menghayati pertobatannya dengan cara:
1.Pertama, membarui tekad untuk bersama saudara-saudara yang miskin dan lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan dan potensi yang ada, betapa pun kecilnya, tanpa menggantungkan diri pada inisiatif kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar. Sebagai orang beriman kita memiliki keyakinan dan harapan bahwa apa yang kecil dapat tumbuh dan mekar menjadi daya kekuatan yang besar bagi kesejahteraan bersama.
2.Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan kekuatan ekonomi besar agar lebih jujur dan seksama dalam mencari jalan untuk membantu kondisi hidup kaum miskin mdan lemah. Keterlibatan mereka hanya bermanfaat apabila mendorong kemandirian kaum miskin sendiri, dan bukan menciptakan ketergantungan yang semakin besar.Dengan keterlibatan yang lebih jujur, mereka secara langsung dan sengaja dapat membantu menciptakan kesejahteraan bersama. Melalui keterlibatan itu semua potensi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kehidupan bersama.Asas kesejahteraan umum harus menjadi penuntun, agar manusia tidak menjadikan keuntungan ekonomi sebagai suatu bentuk penyembahan berhala, yang membelenggu dirinya sendiri, merugikan orang lain serta merusakkan alam ciptaan.
3.Ketiga, mendorong serta mendesak para pembuat dan pelaksana kebijakan publik untuk berubah dari kecenderungan memperdagangkan jabatan dan mandat rakyat bagi keuntungan sendiri menuju keberanian membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang sungguh-sungguh berpihak kepada kaum miskin dan kesejahteraan bersama. Dalam keyakinan Gereja, kesejahteraan merupakan hak setiap orang. Pemerintah serta badan-badan publik lain berkewajiban menjaga dan memastikan pemenuhan hak tersebut, sebab "keadilan adalah tujuan, dan karena itu juga merupakan tolok ukur segala kinerja politik".
4.Keempat, mendorong para cerdik-pandai untuk aktif terlibat dalam mengkaji kembali dan mengubah gagasan serta cara-cara berpikir, terutama di bidang ekonomi, yang merugikan kaum miskin dan lemah. Kajian kritis itu diharapkan menjadi jalan bagi penemuan gagasan, cara berpikir serta cara bertindak baru yang menempatkan kesejahteraan bersama sebagai cita-cita utama.


B. Prinsip-Prinsip Perekonomian yang Adil
Setelah menyatakan pertobatan dan membarui komitmen, kami menyampaikan beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan bersama dalam menentukan langkah ke depan menuju perekonomian yang adil. Perekonomian yang berkeadilan terarah pada peningkatan kesejahteraan bersama dan pelestarian seluruh alam ciptaan.

Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1.Pertama, kesetaraan martabat setiap manusia. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Sebaliknya, manusia harus selalu "menjadi subjek, dasar dan tujuan" dari setiap kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi. Dengan demikian kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama.
2.Kedua, kesejahteraan bersama. Selain mempunyai hak, setiap orang juga mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, mengingat ia hanya dapat hidup dalam tata kebersamaan. Tolok-ukur tak terbantah dari kesejahteraan bersama suatu masyarakat adalah mutu kehidupan warganya yang paling lemah. Apabila sebagian besar warganya yang paling lemah masih hidup dalam kemiskinan, masyarakat itu tidak sejahtera.
3.Ketiga, solidaritas. Solidaritas adalah kesetiakawanan untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan merancang jalan keluarnya, melaksanakan dan mengevaluasi menurut tolok-ukur kesejahteraan bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri menjadi daya gerak sosial, ekonomi dan politik.
4.Keempat, subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan, apa yang dapat dilakukan oleh unit-unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit-unit yang lebih besar. Dengan memperhatikan prinsip ini, kekuatan-kekuatan ekonomi yang besar tidak mencaplok atau menyingkirkan usaha-usaha ekonomi mikro dan kecil yang dilakukan oleh kaum miskin dan lemah. Prinsip ini juga mendorong unit-unit ekonomi yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan ekonomi yang mandiri.

Kesejahteraan bersama menuntut keadilan. Itu hanya dapat terjadi apabila tata-kelola ekonomi menghasilkan kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh kebanyakan warga biasa dalam kepatutannya sebagai manusia. Tata-kelola ekonomi yang baik terungkap dalam kebijakan ekonomi yang baik. Dan tolok-ukur kebijakan ekonomi yang baik bukan terutama terletak dalam kemampuannya mendatangkan investasi berskala besar namun tidak punya kaitan dengan kesejahteraan warga biasa, melainkan dalam kemampuannya memberdayakan mereka yang miskin dan lemah, serta membebaskan mereka dari kemiskinan dan proses pemiskinan.


C. Prioritas dan Beberapa Langkah Strategis
Prioritas gerakan kita adalah pemberdayaan potensi dan energi ekonomi rakyat. Segala upaya dalam rupa kebijakan publik serta kerjasama dengan kekuatan ekonomi berskala besar hanya punya arti apabila diarahkan untuk proses pemberdayaan itu. Sekali lagi, proses itu tidak boleh mengakibatkan ketergantungan kaum miskin dan lemah pada kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar maupun pemerintah, tetapi membebaskan mereka dari ketergantungan.

Prioritas ini mendesak, dan untuk itu beberapa langkah berikut perlu ditempuh.
1.Pertama, gerakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat yang miskin, bukan dengan program dan proses yang membuat mereka semakin tergantung, tetapi melalui upaya-upaya yang membuat potensi dan energi ekonomi mereka muncul serta bergerak. Semua pihak perlu melakukan evaluasi sejauh mana sumbangannya terhadap proses ini sungguh-sungguh membuat kaum miskin semakin berdaya dalam kehidupan ekonomi.
2.Kedua, gerakan untuk memberdayakan kelompok-kelompok khusus di antara kaum miskin, yang secara ekonomi aktif dan yang mempunyai potensi serta energi untuk berkembang. Terutama sangat penting gerakan pemberdayaan melalui pendidikan kewirausahaan dan pembentukan modal tanpa menggantungkan diri pada kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar maupun pemerintah.
3.Ketiga, gerakan pendidikan dan pengadaan modal secara mandiri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan sikap saling percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas, inovasi, kualitas kerja, ketepatan waktu, pola hidup hemat dan sebagainya. Kita dapat bercermin pada kisah-kisah mereka baik dari dalam maupun luar negeri - yang memperjuangkan pemberdayaan kaum miskin.
4.Keempat, gerakan untuk mendesakkan pengadaan prasarana sosial ekonomi yang lebih seimbang di Indonesia, dengan memberi perhatian khusus pada pengembangan berbagai prasarana yang mendorong perkembangan ekonomi rakyat di daerah-daerah tertinggal.
5.Kelima, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik dalam bidangekonomi, agar semakin memberi perhatian khusus pada usaha memberdayakan potensi dan energi ekonomi kaum miskin serta lemah.
6.Keenam, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik, dengan perhatian khusus pada pelaksanaan tata-kelola yang baik dan pencegahan korupsi, kolusi serta jual-beli kebijakan publik.
7.Ketujuh, gerakan bersama mereka yang berkehendak baik dan semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha, untuk membentuk jaringan usaha-usaha kecil dan mikro yang melatih serta menghadirkan lapangan kerja bagi mereka yang tidak trampil dalam masyarakat.
8.Kedelapan, gerakan untuk melestarikan lingkungan sebagai upaya ekologis yang tidak boleh diabaikan dalam usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi.
9.Kesembilan, semua gerakan itu dapat menjadi gerakan yang andal dan berkelanjutan apabila didukung oleh gerakan para cerdik-pandai yang terus-menerus melakukan kajian kritis atas berbagai cara berpikir dan praktik berekonomi yang berlangsung dewasa ini. Tujuannya untuk menemukan gagasan, cara berpikir dan praktik ekonomi baru yang lebih berorientasi pada kaum miskin dan lemah serta cita-cita kesejahteraan bersama.

D. Memajukan yang Sudah Ada
Untuk melaksanakan semua itu, kita tidak harus memulai dari kekosongan. Sudah ada banyak pemikiran dan kebiasaan baik di dalam masyarakat kita yang dapat kita kembangkan untuk memperkuat gerakan sosio-ekonomi tersebut. Usaha ekonomi bersama hanya dapat dibangun di atas dasar saling percaya. Demikian pula kita patut menghargai dan mendukung sejumlah inisiatif yang diambil pemerintah dan kekuatan ekonomi berskala besar serta menengah untuk mendukung usaha-usaha ekonomi rakyat. Untuk memastikan bahwa bantuan pemerintah dan kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar serta menengah itu sungguh memberdayakan kaum miskin dan lemah, dan tidak justru melahirkan pola ketergantungan, diperlukan pengawalan dan pemantauan yang kritis dari masyarakat luas.

Di dalam Gereja Katolik Indonesia pun sudah ada sejumlah inisiatif yang patut dijadikan dasar untuk membangun lebih lanjut perekonomian rakyat, misalnya Komunitas Basis Gerejawi, Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan Koperasi-koperasi Umat, seperti Koperasi Kredit dan Credit Union (CU).

Komunitas Basis Gerejawi sebagai cara menggereja secara baru perlu dikembangkan menjadi wadah saling menguatkan dalam iman yang membuahkan usaha-usaha nyata untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. APP diharapkan semakin menjadi sarana pembelajaran bersama mengenai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan menggereja dan memasyarakat, termasuk keadilan di bidang sosio-ekonomi. Selanjutnya dana APP nasional dan keuskupan diarahkan secara lebih efektif bagi upaya-upaya sosial-ekonomi yang berkelanjutan.

Koperasi-koperasi Umat hendaknya dikelola sebagai bentuk usaha bersama yang memperhatikan secara khusus kelompok warga miskin yang berpotensi dan mampu secara aktif melakukan usaha ekonomi tetapi tidak memiliki modal.

Kita hanya dapat membangun bersama di atas dasar kekuatan sendiri, apabila kita bersedia belajar, berdiskusi, bergerak dan bekerja bersama.



DAFTAR PUSTAKA

Majalah Hati Baru No.12 Tahun XVIII, Maret 2006
http://msfmusafir.wordpress.com/
http://www.mirifica.net/
http://pmkri-yogyakarta.blogspot.com/
http://www.kuk.org.uk/
http://www2.kompas.com/
http://guyub.blogspot.com/
http://groups.yahoo.com/
http:// santomikael.com/

MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN ”Permasalahan Pendidikan”

MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN
”Permasalahan Pendidikan”

KATA PENGANTAR

Salah satu permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia adalah bagaimana meningkatan mutu pendidikan di setiap jenjang agar mampu bersaing di era global, karena itu makalah ini akan membahas mengenai permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan yang di dalamnya berisi kondisi dan situasi nyata mengenai permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia.
Akhirnya, saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih ada beberapa kekurangannya, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan dalam penyusunan makalah yang akan datang.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan penentu nasib suatu bangsa di masa depan. Shane (1984:39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yamg dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.
Permasalahan Pendidikan Indonesia adalah segala macam bentuk masalah yang dihadapi oleh program-program pendidikan di negara Indonesia. Seperti yang diketahui dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1993 dijelaskan bahwa program utama pengembangan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut.
a.Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
b.Peningkatan mutu pendidikan
c.Peningkatan relevansi pendidikan
d.Peningkatan Efisiensi dan efektifitas pendidikan
e.Pengembangan kebudayaan
f.Pembinaan generasi muda

B. Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
a.Memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
b.Mengetahui perkembangan pendidikan di Indonesia.
c.Berusaha ikut serta dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
d.Membantu dalam membahas dan menanggulangi permasalahan-permasalahan yang dihadapi di dalam dunia pendidikan.


C. Rumusan Masalah
Pendidikan merupakan suatu proses yang panjang yang dalam prakteknya mengalami permasalahan-permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan suatu permasalahan yang kompleks yang sangat penting untuk dicari jalan keluarnya.
Oleh sebab itu, di dalam makalah ini penulis akan memberikan gambaran penting mengenai kumpulan masalah-masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia yang akan di bahas dalam makalah ini :
1. Kualitas pendidikan.
1.Relevansi pendidikan
2.Elitisme
3.Manajemen pendidikan
4.Pemerataan pendidikan
5.Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan
Jika dianalisis lebih jauh, maka sesungguhnya permasalahan pendidikan berkaitan dengan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya masalah itu. Adapun faktor-faktor yang dapat menimbulkan permasalahan pokok pendidikan tersebut adalah sebagai berikut :
1. IPTEK
2. Laju pertumbuhan penduduk
3. Permasalahan pembelajaran


D. Manfaat Penulisan Makalah
Berikut ini merupakan manfaat-manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini.
a.Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
b.Menganalisis masalah-masalah pendidikan yang dihadapi.
c.Melakukan pembaruan sistem pendidikan di Indonesia dan pemberian kebijakan pendidikan yang lebih baik.
d.Meningkatkan kemampuan akademik dan SDM.
e.Membangun cara belajar yang lebih lebih efektif.


BAB II
ISI

PERMASALAHAN PENDIDIKAN

Permasalahan- permasalahan Pokok
A. Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan mampu menyumbang nilai tambah, sehingga mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Sungguhpun sulit untuk menetapkan karakteristik yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan. Namun, beberapa indikator dapat digunakan sebagai rambu-rambu untuk mengukur kualitas pendidikan kita.
Beberapa indikator yang dimaksud meliputi :
1.Mutu guru yang masih rendah pada semua jenjang pendidikan
2.Alat bantu proses belajar mengajar seperti buku teks, peralatan laboratorium, dan bengkel kerja yang belum memadai
3.Tidak meratanya kualitas lulusan yang dihasilkan untuk semua jenjang pendidikan
Hal ini memang tergantung pula pada besarnya dukungan anggaran yang diperuntukkan bagi pendidikan per unit maupun alokasi dana bagi pendidikan dari APBN yang ada.
Dengan demikian kalau kita ingin meningkatkan kualitas pendidikan, dukungan anggaran masih perlu ditingkatkan, di samping berupaya untuk meningkatkan efisiensi pendidikan sekaligus mengejar efisiensi ekstermalnya.

B. Relevansi Pendidikan
Untuk mengejar kemampian unggul komparatif, fungsi pendidikan dalam pembangunan ini perlu dialihkan dari fungsi kesejahteraan rakyat menjadi pemberian beban untuk peningkatan kualitas manusia dan masyarakat agar mampu memberi nilai tambah yang unggul komparatif, artinya produk tenaga kerja Indonesia mampu bersaing di pasar kerja, baik dalam makna ekonomik, kultural maupun idiil. (Noeng Muhadjir 1990:9).
Relevansi pendidikan atau efisiensi eksternal suatu sistem itu dalam memasok tenaga-tenaga kerja terampil dalam jumlah yang memadai bagi kebutuhan sektor-sektor pembangunan.
Dunia pendidikan di Indonesia sampai sekarang ini masih mengalami krisis yang berkisar pada relevansi pendidikan dan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan di Indonesia dinilai tidak dapat mencetak lulusan siap pakai, tidak adanya kesesuaian antara output pendidikan dengan tuntutan perkembangan ekonomi akan mengakibatkan kesenjangan okupasional. (Muchtar Buchori,1990:12).
Menurut Riwanto (1993) masalah tidak relevannya pendidikan kita bukan hanya disebabkan oleh antara kesenjangan antara supply sistem pendidikan dan demand tenaga yang dibutuhkan oleh berbagai sektor ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh ketidak sesuaian isi kurikulum sistem pendidikan kita di berbagai jenjang pendidikan terutema kurikulum SMA Kejuruan dan kurikulum di Perguruan Tinggi dengan perkembangan deferensiasi lapangan pekerjaan di dunia usaha.

C. Elitisme
Yang dimaksud elitisme dalam pendidikan adalah kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok masyarakat yang kecil atau yang justru mampu ditinjau dari segi ekonomi. Hal ini biasanya berupa kesenjangan subsidi untuk mahasiswa pendidikan tinggi lebih besar dibandingkan dengan siswa sekolah dasar.
Kepincangan dalam pemberian subsidi pada siawa memang bukan monopoli sistam pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi merupakan gejala umum, dan terutama di negara-negara berkembang seperti China, Thailand, dan Malaysia. Untuk negara-negara yang tergolong maju seperti Korea Selatan menurut laporan ADB (1984) menunjukkan hal yang berbeda untuk tingkat Perguruan Tinggi, dimana proporsi subsidi bantuan yang diberikan pada mahasiswa di negaranya semakin menurun (mengecil), ini membuktikan bahwa perlakuan dalam pemberian subsidi di negara tersebut sudah menganut pola keadilan merata. Namun demikian secara kumulatif subsidi yang diberikan pemerintah di negara-negara Asia pada umumnya memberikan proporsi yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan tinggi.

D. Managemen Pendidikan
Lembaga pendidikan kita dibentuk berdasarkan fungsi dan peranan pendidikan yang sudah ketinggalan jaman. Sebagaimana dengan kebanyakan lembaga-lembaga sosial; uang, lembaga-lembaga itu tidak dapat mengikuti cepaynya laju pembangunan. Tidak mengherankan Tilaar (1994) mengatakan bahwa persoalan pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) perlu ditata kembali atau perlu direktrukturisasi.

E. Pemeratan Pendidikan
Pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau biasa disebut perluasan keempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama unutk memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial, agama, amupun letak lokasi geografis.
Dalam propernas tahun 2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai kebijakan pembangunan pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
“Mengupayakan perluasan dan pemeraatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya Manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peninggakatan anggaran pendidikan secara berarti“. Dan pada salah satu tujuan pelaksanaan pendidikan Indonesia adalah untuk pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa Pemerataan Pendidikan merupakan tujuan pokok yang akan diwujudkan. Jika tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan pendidikan belum dapat dikatakan berhasil. Hal inilah yang menyebabkan masalah pemerataan pendidikan sebagai suatu masalah yang paling rumit untuk ditanggulangi.
Permasalahan Pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daearh-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Permasalahan pemerataan pendidikan dapat ditanggulangi dengan menyediakan fasilitas dan sarana belajar bagi setiap lapisan masyarakat yang wajib mendapatkan pendidikan. Pemberian sarana dan prasrana pendidikan yang dilakukan pemerintah sebaiknya dikerjakan setransparan mungkin, sehingga tidak ada oknum yang dapat mempermainkan program yang dijalankan ini.

F. Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan
Sesuai dengan pokok permasalahan pendidikan yang ada selain sasaran pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan, maka ada satu masalah lain yang dinggap penting dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu efisiensi dan efektifitas pendidikan. Permasalahan efisiensi pendidikan dipandang dari segi internal pendidikan. Maksud efisiensi adalah apabila sasaran dalam bidang pendidikan dapat dicapai secara efisien atau berdaya guna. Artinya pendidikan akan dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak menghamburkan sumberdaya yang ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya.
Pelaksanaan proses pendidikan yang efisien adalah apabila pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat sasaran, dengan lulusan dan produktifitas pendidikan yang optimal. Pada saat sekarng ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh dari efisien, dimana pemanfaatan segala sumberdaya yang ada tidak menghasilkan lulusan yang diharapkan. Banyaknya pengangguran di Indonesia lebih dikarenakan oleh kualitas pendidikan yang telah mereka peroleh. Pendidikan yang mereka peroleh tidak menjamin mereka untuk mendapat pekerjaan sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka jalani.
Pendidikan yang efektif adalah pelaksanaan pendidikan dimana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana / program yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika rencana belajar yang telah dibuat oleh dosen dan guru tidak terlaksana dengan sempurna, maka pelaksanaan pendidikan tersebut tidak efektif.
Tujuan dari pelaksanaan pendidikan adalah untuk mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin, terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya. Dari tujuan tersebut, pelaksanaan pendidikan Indonesia menuntut untuk menghasilkan peserta didik yang memeiliki kualitas SDM yang mantap. Ketidakefektifan pelaksanaan pendidikan tidak akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Melainkan akan menghasilkan lulusan yang tidak diharapkan. Keadaan ini akan menghasilkan masalah lain seperti pengangguran.
Penanggulangan masalah pendidikan ini dapat dilakukan dengan peningkatan kulitas tenaga pengajar. Jika kualitas tenaga pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk pendidikan yang siap untuk mengahdapi dunia kerja. Selain itu, pemantauan penggunaan dana pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efisien. Kelebihan dana dalam pendidikan lebih mengakibatkan tindak kriminal korupsi dikalangan pejabat pendidikan. Pelaksanaan pendidikan yang lebih terorganisir dengan baik juga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan seperti ini akan lebih bermanfaat dalam usaha penghematan waktu dan tenaga.


Permasalahan-permasalahan Pendukung
A. IPTEK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini berdampak pada pendidikan di Indonesia. Ketidaksiapan bangsa menerima perubahan zaman membawa perubahan tehadap mental dan keadaan negara ini. Bekembangnya ilmu pengetahuan telah membentuk teknologi baru dalam segala bidang, baik bidang sosial, ekonomi, hukum, pertanian dan lain sebagainya.
Sebagai negara berkembang Indonesia dihadapkan kepada tantangan dunia global. Dimana segala sesuatu dapat saja berjalan dengan bebas. Keadaan seperti ini akan sangat mempengaruhi keadaan pendidikan di Indonesia. Penemuan teknologi baru di dalam dunia pendidikan, menuntut Indonesia melakukan reformasi dalam bidang pendidikan. Pelaksanaan reformasi tidaklah mudah, hal ini sangat menuntut kesiapan SDM Indonesia untuk menjalankannya.

B. Laju Pertumbuhan Penduduk
Laju pertumbuhan yang sangat pesat akan berpengaruh tehadap masalah pemerataan serta mutu dan relevansi pendidikan. Pertumbuhan penduduk ini akan berdampak pada jumlah peserta didik. Semakin besar jumlah pertumbuhan penduduk, maka semakin banyak dibutuhkan sekolah-sekolah untuk menampungnya. Jika daya tampung suatu sekolah tidak memadai, maka akan banyak peserta didik yang terlantar atau tidak bersekolah. Hal ini akan menimbulkan masalah pemerataan pendidikan.
Tetapi apabila jumlah dan daya tampung suatu sekolah dipaksakan, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara tenaga pengajar dengan peserta didik. Jika keadaan ini dipertahankan, maka mutu dan relevansi pebdidikan tidak akan dapat dicapai dengan baik.
Sebagai negara yang berbentuk kepulauan, Indonesia dihadapkan kepada masalah penyebaran penduduk yang tidak merata. Tidak heran jika perencanaan, sarana dan prasarana pendidikan di suatu daerah terpencil tidak terkoordinir dengan baik. Hal ini diakibatkan karena lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tersebut. Keadaan seperti ini adalah masalah lainnya dalam bidang pendidikan.
Keterkaitan antar masalah ini akan berdampak kepada keadaan pendidikan Indonesia.

C. Permasalahan Pembelajaran
Pelaksanaan kegiatan belajar adalah sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dalam kegiatan belajar formal ada dua subjek yang berinteraksi, Yaitu pengajar/pendidik (guru/dosen) dan peserta didik ( murid/siswa, dan mahasiswa).
Pada saat sekarang ini, kegiatan pembelajaran yang dilakukan cenderung pasif, dimana seorang pendidik selalu menempatkan dirinya sebagai orang yang serba tahu. Hal ini akan menimbulkan kejengahan terhadap peserta didik. Sehingga pembelajaran yang dilakukan menjadi tidak menarik dan cenderung membosankan. Kegiatan belajar yang terpusat seperti ini merupakan masalah yang serius dalam dunia pendidikan.
Guru / dosen yang berpandangan kuno selalu menganggap bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan materi, sedangakan tugas siswa/mahasiswa adalah mengerti dengan apa yang disampaikannya. Bila peserta didik tidak mengerti, maka itu adalah urusan mereka. Tindakan seperti ini merupakan suatu paradigma kuno yang tidak perlu dipertahankan.
Dalam hal penilaian, Pendidik menempatkan dirinya sebagai penguasa nilai. Pendidik bisa saja menjatuhkan, menaikan, mengurangi dan mempermainkan nilai perolehan murni seorang peserta didik. Pada satu kasus di pendidikan tinggi, dimana seorang dosen dapat saja memberikan nilai yang diinginkannya kepada mahasiswa tertentu, tanpa mengindahkan kemampuan atau skill yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut. Proses penilaian seperti sungguh sangat tidak relevan.



BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Simpulan-simpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah bahwa permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu permasalahan-pemasalahan pokok dan permasalahan-permasalahan pendukung.
Yang termasuk dalam permasalahan-permasalahan pokok tersebut adalah :
1. Kualitas pendidikan.
1.Relevansi pendidikan
2.Elitisme
3.Manajemen pendidikan
4.Pemerataan pendidikan
5.Efisiensi dan efektifitas pendidikan
Sedangkan yang termasuk permasalahan-permasalahan pendukung adalah :
1. IPTEK
2. Laju pertumbuhan penduduk
3. Permasalahan pembelajaran

B. Saran
Adapun saran-saran dalam makalah permasalahan pendidikan ini adalah sebagai berikut :
1.Perlunya peningkatan mutu pendidikan dan tenaga pengajar yang diharapkan dapat menyampaikan bahan pelajaran secara efektif dan efisien.
2.Perlunya peghapusan elitisme pendidikan.
3.Perlunya manajemen pendidikan yang tepat.
4.Pemerintah seharusnya memberikan kebijakan-kebijakan yang dapat memajukan pendidikan terutama masalah pemerataan pendidikan dan diharapkan dapat menambah APBN untuk sektor pendidikan.
5.Perlunya perubahan kurikulum di Indonesia yang sesuai dengan perkembangan pendidikan saat ini khususnya yang sesuai dengan perkembangan dunia global.
6.Perlunya perhatian pemerintah dalam menanggulangi laju pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi agar penanganan pendidikan dapat dilakukan dengan lebih baik
7.Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia permasalahan-permasalahan pendidikan tersebut harus diminimalisir.

“Kedudukan Bahasa Indonesia”

“Kedudukan Bahasa Indonesia”


BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.

B.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah tentang kedudukan fungsi bahasa Indonesia adalah untuk :
1.Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Politik Bahasa Nasional, dan
2.Mengetahui seluk beluk kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

C.Rumusan Masalah
Bagaimanakah kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia untuk saat ini?


BAB II
ISI

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak “Soempah Pemoeda”, 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasa Indonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apapun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antar suku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulai dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam Kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kabanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini terus dibina dan dijaga oleh bangsa Indonesia. Sebagai lambing identitas nasional, bangsa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional merah putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapapun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu factor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pegawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antar instansi pemerintah, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pegawai instansi pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak social yang cukup jauh, misalnya antara bawahan-atasan, mahasiswa-dosen, kepala dinas-bupati atau walikota, kepala desa-camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai social budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai behasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia pun dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.
Bahasa Indonesia befungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas mash menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi) baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa-skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahwa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek.



BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Kedudukan bahasa Indonesia :
1.Bahasa persatuan, dengan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai jenis terpupuk, sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
2.Bahasa nasional, berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambing kebangsaan.
3.Bahasa negara, dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tertulis.
4.Bahasa resmi, sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya.
5.Bahasa budaya, merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri yang membedakannya dengan kebudayaan daerah.
6.Bahasa ilmu, sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional.

B.Saran
1.Sebaiknya fungsi-fungsi bahasa Indonesia bisa lebih dioptimalkan, sehingga keberadaan bahasa Indonesia tetap dilestarikan.
2.Kedudukan bahasa Indonesia diperkuat, sehingga tidak mudah tergeser oleh bahasa manapun karena bahasa Indonesia adalah warisan kebudayaan bangsa Indonesia yang luhur.